Jakarta, SMA PGRI 24 Jakarta, Saat menuju Masjid Salman ITB untuk sholat jumat, saya
melihat seorang Bapak tua yang duduk di depan dagangannya. Dia menjual amplop
yang sudah dibungkus dengan plastik.
Amplop ?? Dagangan yang menurut saya aneh, diantara pedagang
lain yang memenuhi pasar kaget di lokasi ini. Pedagang di pasar kaget ini
umumnya menjual makanan, pakaian, mainan anak, elektronik dan lain-lain.
Amplop adalah barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada
zaman yang serba elektronik dan digital seperti sekarang ini. Masa kejaayaan
pengiriman surat konvensional sudah berlalu, tetapi bapak ini tetap menjual
amplop. Kalau saya pikir mungkin saat ini amplop hanya banyak digunakan untuk
sumbangan atau acara kondangan pada sebuah hajatan.
Siapa yang mau membeli amplop itu ? Tidak satupun yang
orang orang yang lewat menghampirinya
untuk membeli. Lalu lalang dan padatnya pengunjung seolah tidak
mempedulikannya.
Saya mencoba menghampiri untuk membeli amplop, meskipun
sebenarnya tidak terlalu memutuhkan barang tersebut. Tujuan saya hanya membantu
penjual amplop melariskan dagangannya. Lantas saya bertanya, berapa harga
amplop satu bunkus plastik ini pak ? “Seribu”, jawabnya dengan suara lirih. Ya,
Tuhan, harga sebungkus amplop berisi sepuluh lembar hanya duribu rupiah? Uang
sebesar itu hanya cukup untuk membeli dua gorengan yang berada disekitarnya.
Uang seribu rupiah di zaman seperti sekarang ini tidak
terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi bepak penjual amplop sangat berarti. Saya
tercekat dan berusaha menahan air mata haru mendengar harga yang sangat murah
itu. “Saya beli ya Pak, 10 bungkus”, kata saya kepada Bapak penjual amplop.
Bapak penjual amplop terlihat gembira karena saya membeli amplop dalam jumlah
banyak.
Bapak penjual amplop memasukan sepuluh bungkus amplop yang
isinya sepuluh lembar setiap bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop. Tanggannya
terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak. Saya berusaha
bertanya lagi, mengapa bapak penjual amplop mejual amplop semurah itu, padahal
harga sebuh amplop di warung tidak mungkin seratus rupiah. Dengan uang seribu mungkin hanya mendapatkan
lima amplop.
“Nama Bapak siapa?” tanyaku.
“Ohen, Cep”, jawab Bapak penjual amplop.
“Eta naon?” Tanya saya ketika tidak sengaja melihat selembar
kertas di genggaman Pak Ohen.
Pak Ohen menunjukkan selembar kwitansi pembelian amplop di took
grosir. Tertulis di sana pembelian sepuluh bungkus amplop, tujuh ribu lima
ratus rupiah.
“Bapak hanya ambil sedikit, Cep”, katanya lirih. Dia hanya
mengambil keuntungan dua ratus lima puluh rupiah untuk sebungkus amplop yang
berisi sepuluh lembar.
Saya terharu mendengar jawaban jujur Bapak penjual amplop.
Bisa jadi pejual lain di jalan ini menaikkan harga jual sehingga keuntungannya
berlipa-lipat, tetapi Pak Ohen hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun
terjual sepuluh bungkus amplop, keuntungan tidak bisa untuk membeli sebungkus
nasi di pinggir jalan.
Siapa yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman
sekarang? Dalam sehari saja, saya rasa dagangan Pak Ohen belum tentu laku
sepuluh bungkus, apalagi untuk duapuluh bungkus amplop agar dapat membeli
nasih. Setelah selesai saya membyar sepuluh ribu rupiah untuk sepuluh bungkus
amplop. Saya bergegas pergi meninggalkannya karena sudah tidak dapat menahan
air mata haru saya.
Pak Ohen penjual amplop adalah salah satu dari mereka, yaitu
para pedagang kaki lima yang dagangannya tidak laku-laku. Kondisinya sama
seperti seorang pedagan ICT yang mengeluh dagannya tidak laku saat memaksa saya
membelinya. Namun, Pak Ohen bukanlah
tipe manusia pengeluh, apalagi meminta-minta.
Pak Ohen banyak memberikan pelajaran kepada saya, menurut
saya Pak Ohen lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran di Masjid Salman,
meminta-minta kepada orang yang lewat.
Di perjalanan sambil mengamati amplop-amplop yang saya beli,
saya mengucap syukur. Bisa jadi melalui perantara Pak Ohen, Tuhan mengingatkan
betapa pentingnya sedekah. Di kamar hotel setelah mengambil uang di ATM, saya
memasukan uang satu per satu ke dalam amplop tersebut, berniat untuk
memberikannya kepada yang berhak dengan segera.
Sudahkah Anda berbagi ? (Insiprasi cerita dari
Ridho Daiman dan Sosok Ohen) Dikutip dari Buku : Provogasme, Motivasi Tanpa Menggurui : Teguh Hambudi
0 Response to "INSIPRASI HIDUP : Belajar Dari Pak Ohen Penjula Amplop"
Posting Komentar